Beranda | Artikel
Kisah: Sikap Wara Abu Bakr
Selasa, 17 Juni 2014

Sikap Wara’  Abu Bakr

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala rasulillah, amma ba’du,

Siapa yang tidak kenal dengan Abu Bakar ash-Shiddiq radliallahu ‘anhu? Sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang mulia sangat terkenal karena banyak memiliki keutamaan dan sifat-sifat mulia dalam Islam. Sampai-sampai shahabat ‘Umar bin al-Khattab Radhiyallahu ‘anhu memuji beliau dengan mengatakan:

لو وزن إيمان أبي بكر بإيمان أهل الأرض لرجحت كفة أبي بكر

Seandainya keimanan Abu Bakar radliallahu ‘anhu ditimbang dengan keimanan penduduk bumi (selain para Nabi dan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam) maka sungguh keimanan beliau radliallahu ‘anhu  lebih berat dibandingkan keimanan penduduk bumi”. (HR. Ishaq bin Rahuyah dalam Musnadnya, no. 1266 dan al-Baihaqi dalam Syu’abul iman, no. 36 dengan sanad yang shahih)

Kisah berikut ini mengambarkan tingginya keutamaan Abu Bakar radliallahu ‘anhu  dan besarnya kehati-hatian beliau dalam masalah halal dan haram:

Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha bahwa ayah beliau, Abu Bakar ash-Shiddiq radliallahu ‘anhu memiliki seorang budak yang setiap hari membayar setoran kepada Abu Bakar radliallahu ‘anhu (berupa harta atau makanan) dan beliau makan sehari-hari dari setoran tersebut.

Suatu hari, budak tersebut membawa sesuatu (makanan), maka Abu Bakar radliallahu ‘anhu memakannya. Lalu budak itu berkata kepada beliau: “Apakah anda mengetahui apa yang anda makan ini?”. Abu Bakar radliallahu ‘anhu balik bertanya: “Makanan ini (dari mana)?”. Budak itu menceritakan: “Dulu di jaman Jahiliyah, aku pernah melakukan praktek perdukunan untuk seseorang (yang datang kepadaku), padahal aku tidak bisa melakukannya, dan sungguh aku hanya menipu orang tersebut. Kemudian aku bertemu orang tersebut, lalu dia memberikan (hadiah) kepadaku makanan yang anda makan ini”. Setelah mendengar pengakuan budaknya itu Abu Bakar segera memasukkan jari tangan beliau ke dalam mulut, lalu beliau memuntahkan semua makanan dalam perut beliau”. (HR. Bukhari no. 3629)

Kisah ini menggambarkan tingginya ketakwaan dan keimanan Abu Bakar ash-Shiddiq. Beliau sangat berhati-hati dalam menjaga anggota badan beliau dari mengkonsunmsi makanan yang tidak halal, dan inilah aplikasi dari sifat wara’ yang sebenarnya. (Lihat bahjatun Nadzirin, 1/649)

Beberapa pelajaran berharga yang dapat kita petik dari kisah di atas:

Pertama, keutamaan Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu bukan hanya terletak pada amal perbuatan anggota badan beliau, tapi karena sempurnanya keimanan dan ketakwaan dalam hati beliau. Imam Abu Bakar bin ‘Ayyaasy (seorang ulama generasi tabi’in) mengatakan: “Tidaklah Abu Bakar ash-Shiddiq radhiyallahu ‘anhu mengungguli kalian dalam kebaikan dengan hanya semata-mata karena banyak berpuasa dan shalat, akan tetapi karena sesuatu kesempurnaan iman dan takwa yang ada di dalam hati beliau”. (Miftah Daris Sa’adah, Ibnul Qoyim, 1/82)

Kedua, berhati-hati dalam masalah halal dan haram, mencerminkan ketakwaan seorang hamba. Karena dengan sifat ini, kebaikan agama seseorang akan selalu terjaga dengan izin Allah ta’ala. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda:

فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ اسْتَبْرَأَ لِدِينِهِ، وَعِرْضِهِ، وَمَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ

“Barangsiapa yang menjaga diri dari hal-hal yang samar (belum jelas status halal atau haramnya) maka sungguh dia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Dan barangsiapa yang terjerumus ke dalam hal-hal yang samar tersebut maka berarti dia telah terjerumus ke dalam perkara yang haram (dilarang dalam Islam)…”. (HR. Muslim, no 1599)

Ketiga, termasuk bentuk aplikasi sifat wara’ adalah tidak memakan makanan dan menerima pemberian dari seseorang yang diketahui dengan yakin bahwa hartanya bersumber dari penghasilan yang haram, kecuali jika dia punya sumber penghasilan lain yang halal (hartanya bercampur dengan barang haram). (Lihat Bahjatun Nazhirin, 1/649)

Keempat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّهُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ، لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ؛ النَّارُ أَوْلَى بِهِ

“Tidak akan masuk surga daging yang tumbuh dari (makanan) yang haram dan neraka lebih layak baginya”. (HR Ahmad, 3/321, Daarimi, no. 2776, dan dishahihkan Al-Albani)

Kelima, haramnya dan tercelanya praktek perdukunan dalam segala bentuknya. Serta larangan mendatangi apalagi mempercayai para dukun dan tukang ramal. Karena hal ini termasuk dosa yang sangat besar bahkan bisa membawa kepada kekafiran. Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallambersabda:

مَنْ أَتَى عَرَّافًا فَسَأَلَهُ عَنْ شَيْءٍ، لَمْ تُقْبَلْ لَهُ صَلَاةٌ أَرْبَعِينَ لَيْلَةً

“Barangsiapa yang mendatangi tukang ramal (orang yang mengaku mengetahui ilmu gaib, termasuk dukun dan tukang sihir), kemudian bertanya tentang sesuatu hal kepadanya, maka tidak akan diterima shalat orang tersebut selama empat puluh malam (hari)”. (HR. Muslim, no. 2230)

Dalam hadits lainnya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَنْ أَتَى كَاهِنًا، أَوْ عَرَّافًا، فَصَدَّقَهُ بِمَا يَقُولُ، فَقَدْ كَفَرَ بِمَا أُنْزِلَ عَلَى مُحَمَّدٍ

“Barangsiapa yang mendatangi dukun atau tukang ramal kemudian membenarkan ucapannya, maka sungguh dia telah kafir terhadap agama yang diturunkan kepada nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam”. (HR Ahmad, 2/429 dan Hakim, 1/49, dan dishahihkan Al-Albani)

Keenam, maksud praktek perdukunan dalam kisah ini adalah meramalkan kejadian yang akan datang tanpa adanya bukti-bukti yang membenarkan. Ini termasuk perbuatan yang membawa kepada kekafiran, karena perkara yang gaib tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah ta’ala. Allah berfirman,

قُلْ لَا يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ الْغَيْبَ إِلَّا اللَّهُ

“Katakanlah:”Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi yang mengetahui perkara yang ghaib, kecuali Allah”, dan mereka tidak mengetahui bilamana mereka akan dibangkitkan” (QS an-Naml: 65).

Ketujuh, upah/harga dari pekerjaan yang dilarang dalam agama adalah haram dan tidak boleh dimakan. Dari Abu Mas’ud Al-Anshari radhiyallahu ‘anhu yang mengatakan,

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ ثَمَنِ الكَلْبِ، وَمَهْرِ البَغِيِّ، وَحُلْوَانِ الكَاهِنِ

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang hasil (penjualan) anjing, upah (dari) pelacuran dan upah/hadiah (dari praktek) perdukunan. (HR. Bukhari, no. 2122 dan Muslim, no 1567)

Ditulis oleh Ust. Abdullah Taslim, M.A.


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/22812-kisah-sikap-wara-abu-bakr.html